sinopsis tari tor tor

Rabu, 01 Agustus 2012

"Tor-tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang.

tari tortor,sumatra utaraTari Tor-tor dari Sumatra Utara, ditampilkan saat ada ritual panen, kematian, dan penyembuhan. Wujudnya mulai bertransformasi di wilayah perkotaan karena menjadi tontonan, tidak semua yang melihatnya ikut terlibat (Irsan Mulyadi/Fotokita.net)
Melimpahnya kebudayaan Indonesia terlihat dari beragamnya bentuk pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian. Bukan hal mudah untuk menciptakannya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah. Wajar jika kemudian terjadi perdebatan panjang saat Tari Tor-tor dan Gordang Sembilan (Gondang Sembilan) dari Mandailing, Sumatra Utara, dinyatakan akan menjadi hak cipta Malaysia.
Menurut Togarma Naibaho, pendiri Sanggar budaya Batak, Gorga, kata "Tor-tor" berasal dari suara entakan kaki penarinya di atas papan rumah adat Batak. Penari bergerak dengan iringan Gondang yang juga berirama mengentak. "Tujuan tarian ini dulu untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi. Dan tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui," kata Togarma kepada National Geographic Indonesia, Selasa (19/6).
Pesan ritual itu, lanjut Togarma, ada tiga yang utama. Yakni takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
"Makna tarian ini ada tiga, selain untuk ritual juga untuk penyemangat jiwa. Seperti makanan untuk jiwa. Makna terakhir sebagai sarana untuk menghibur," imbuh mantan pengajar Seni Rupa dan Desain di Universitas Trisakti, Jakarta itu.
tari tortor,sumatra utaraTari Tor-tor dari Sumatra Utara. Tarian ditampilkan dengan maksud membangkitkan jiwa yang ada dalam diri manusia. (Feri Latief)
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.
Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.
Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.
Gondang Sembilan
Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.
Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.
Menurut analisa Togarma, banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid. "Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug."
Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. "Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara," imbuh Togarma.
Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan ternoda dengan kurangnya penghargaan. Sulit mencari pihak yang mau membiayai pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota. Hanya karena pejuang-pejuang seni Batak, Tari Toro-tor dan Gondang ini masih tumbuh dan terlihat keberadannya.
"Kebudayaan itu pengisi batin, bagian dari kehidupan. Karena hidup tidak cukup dengan makan saja, jiwa juga harus terisi seni," ujar Togarma.
(Zika Zakiya)

tari seudati

seudati1
Kata seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain , yang berarti kesaksian atau pengakuan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama. Pada mulanya tarian seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama.
Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Diantaranya istilah Syeh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan Syair yang berarti nyayian.
Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, Seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.
ASAL USUL TARI SEUDATI
Tari Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini menjadi kesenian pembinaan hingga ke tingkat Sekolah Dasar.
Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri dari satu orang pemimpin yang disebut syeikh , satu orang pembantu syeikh, dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak , dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi.
Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Bebarapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah dengan penuh semangat. Namun, ada beberapa gerakan yang tampak kaku, tetapi sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penarinya. Selain itu, tepukan tangan ke dada dan perut mengesankan kesombongan sekaligus kesatria.
Busana tarian seudati terdiri dari celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah yang diikatkan di kepala; dan sapu tangan yang berwarna. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam. Bagian-bagian terpenting dalam tarian seudati terdiri dari likok (gaya; tarian), saman (melodi), irama kelincahan, serta kisah yang menceritakan tentang kisah kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama.
Pada umumnya, tarian ini diperagakan di atas pentas dan dibagi menjadi beberapa babak, antara lain: Babak pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang ucapkan oleh aneuk syahi saja, yaitu:
Assalamualaikum Lon tamong lam seung,
Lon jak bri saleum keu bang syekh teuku….
Fungsi aneuk syahi untuk mengiringi seluruh rangkaian tari. Salam pertama ini dibalas oleh Syeikh dengan langgam (nada) yang berbeda:
Kru seumangat lon tamong lam seung,
lon jak bri saleum ke jamee teuku….
Syair di atas diulangi oleh kedua apeetwie dan apeet bak. Pada babak perkenalan ini, delapan penari hanya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, tepuk dada serta jentikan delapan jari yang mengikuti gerak irama lagu. Gerakan rancak baru terlihat ketika memasuki babak selanjutnya. Bila pementasan bersifat perntandingan, maka setelah kelompok pertama ini menyelesaikan babak pertama, akan dilanjutkan oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda pula.
Biasanya, kelompok pertama akan turun dari pentas. Babak kedua, dimulai dengan bak saman , yaitu seluruh penari utama berdiri dengan membuat lingkaran di tengah-tengah pentas guna mencocokkan suara dan menentukan likok apa saja yang akan dimainkan. Syeikh berada di tengah-tengah lingkaran tersebut. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan bahwa masyarakat Aceh selalu muepakat (bermusyawarah) dalam mengambil segala keputusan. Muepakat itu, jika dikaitkan dengan konteks tarian ini, adalah bermusyawarah untuk menentukan saman atau likok yang akan dimainkan.
Di dalam likok dipertunjukkan keseragaman gerak, kelincahan bermain dan ketangkasan yang sesuai dengan lantunan lagu yang dinyanyikan aneuk syahi . Lantunan likok tersebut diawali dengan:
Iiiiii la lah alah ya ilalah…. (secara lambat dan cepat)
Seluruh penari utama akan mengikuti irama lagu yang dinyanyikan secara cepat atau lambat tergantung dengan lantunan yang dinyanyikan oleh aneuk syahi tersebut. Fase lain adalah fase saman . Dalam fase ini beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Ketika syeikh melontarkan ucapan:
walahuet seuneut apet ee kataheee, hai syam,
maka anek syahi akan menimpali dengan jawaban:
lom ka dicong bak iboih, anuek puyeh ngon cicem subang.
Untuk menghilangkan rasa jenuh para penonton, setiap babak ditutup dengan formasi lanie, yaitu memperbaiki formasi yang sebelumnya sudah tidak beraturan.
Artikel ini dikutip dari berbagai sumber yang terkait. Termasuk wawancara langung dengan salah seorang penari seudati terkemuka di Aceh, Syeh La Geunta.

tari payung

Asal Daerah : Minangkabau Sumatera Barat
 Alat Bantu : Payung
 
 Tari Payung merupakan taritradisi Minangkabau yang saatini telah banyak perubahan dandikembangkan oleh senian-seniman tari terutama diSumatra Barat. Awalnya tari inimemiliki makna tentangkegembiraan muda mudi(penciptaan) yangmemperlihatkan bagaimana perhatian seorang laki-lakiterhadap kekasihnya. Payungmenjadi icon bahwa keduanyamenuju satu tujuan yaitumembina rumah tangga yang baik. Keberagaman Tari Payungtidak membunuh tari payung yang ada sebagai alat ungkap budaya Minangkabau. Keberagamantersebut hanyalah varian dari tari-tari yang sudah ada sebelumnya. Sikap ini penting diambiluntuk kita tidak terjebak dengan penilaian bahwa varian tari yang satu menyalahi yang lainnya.Sejauh tri terseut tidak melenceng dari akar tradisinya, maka kreasi menjadi alat kreativitasseniman dalam menyikapi budaya yang sedang berkembang.Penelitian ini memakai teori perubahaan yang dikembangkan oleh Herbert Spencer. Teori perubahan akan dipakai untuk melihat perkembangan yang terjadi pada tari payung. Teori lainyang akan mendukung adalah teori akulturasi yang dikembangkan oleh Koentjaraningrat danGM. Foster. Teori ini dipakai untuk melihat budaya apa saja yang mempengaruhi perkembangantari payung dari dulu hingga sekarang. Jumlah penari dalam tari payung selau genap dan selalu berpasangan, bisa tiga atau empat pasang. Kalaupun ada gerakan lelaki berpindah pasangan, bukan berarti hatinya terbagi dua atau lebih, akan tetapi hanya wujud dari kreasi yang dimainkan.Pada hakekatnya mereka hanya satu pasang, tetapi divisualkan dalam bentuk banyak. Hal ini bisadlihat dari kostum yang dimainkan, dimana seluruh penari permpuan berpakaian sama, begitudengan penari laki-laki yang semuanya juga sama. Payung yang dimainkan juga berbentuk sama.Tari Payung sejak mulanya telah mengalami perkembangan yang sangat berarti terutama olehseniman-seniman muda Minagkabau. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh tingkat keilmuanyang sudah beragam. Pengaruh gaya dari mana saja msuk menyentuh wilayah seni, tidak terkecuali tari payung. Melayu merupakan unsur utama dalam mempengaruhi gerak tari payung.Begitu juga dengan pola gerak barat, sedikit banyak menyentuh wilayah ini. Senian pembaharutari payung menjadikan fungsi seni tari itu bergeser dari ritual adat menjadi seni untuk profanyang perkembangannya sangat pesat.Fungsi seni ritual tidak mengalami perkembangan yang berarti, karean seni ritual didukungh oleh pakem-pakem yang jelas dan sulit untu diubah, bahkantidak mungkin untuk diubah, karena dia berkaitan dengan persolan adat yang memiliki hukum-hukum yang jelas. Berkaitan dengan hal itu, seniman pebaharu tari payung memasuki gerak-gerak yang inovatif supaya bisa menyeimbangkan antara seni profan dengan seni ritual. Merekahanya memasuki wilayah seni profan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dijualuntuk masyarakat luas.

tari manasai

 
TARI MANASAI
 
Asal Daerah : Pulau Kalimantan 

Alat Bantu : (selendang), kain yang diikatkan mengelilingi kepala kemudian di sisipi Bulu Burung Tingang (Bulu Burung Engrang)


 






.Pulau Kalimantan ternyata memiliki berbagaimacam tradisi, adat-istiadat, kesenian, tari-tariandan berbagai macam ritual yang melekat danerat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya.Salah satu tari-tarian yang cukup dikenal adalahtari manasai. Tari ini merupakan tari yangmelambangkan kegembiraan. Tari ini biasanya juga diadakan untuk menyambut tamu-tamu pemerintahan yang ke sana. Intinya tarian³selamat datang´ untuk tamu-tamu yang berkunjung ke Kalimantan. Tari ini juga biasanyadipentaskan pada acara festival budaya Isen Mulang yaitu acara tahunan yang diselenggarakanoleh pemerintah daerah dan dibantu oleh dinas pariwisata dan dinas-dinas yang terkait, tujuannyaadalah menarik minat wisatawan untuk berkunjung serta memperkenalkan dan melestarikan budaya daerah sehingga masyarakat luar juga mengetahui budaya dari daerah lain. Hal tersebutakan memperkaya budaya nasional bangsa kita.Perlengkapan tari manasai biasanya baju adat, bahalai (selendang), kain yang diikatkanmengelilingi kepala kemudian di sisipi Bulu Burung Tingang (Bulu Burung Engrang). Kesemuaitu sebagai pelengkap dalam tari manasai. Kesemua itu memiliki arti tersendiri bagi yangmengerti terutama para tetua adat, namun saya tidak begitu mengerti akan arti-arti dari semua perlengkapan yang dikenankan walaupun saya tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga dayak. Inikurangnya kesadaran sebagai generasi muda untuk belajar dan menggali lebih lagi tentangkebudayaannya sendiri termasuk saya orangnya. Namun walaupun begitu tidak semua pemuda dan pemudi yang tidak peduli akan hal tersebut.Buktinya masih banyak sanggar-sanggar tari bermunculan dan banyak yang hendak belajar tentang tari-tarian daerah. Ini menandakan bahwa masih ada yang peduli akan potensi-potensiyang ada di daerah dan perlu dikembangkan lagi agar tidak sampai hilang di telan arus zamanmodernisasi. Menurut saya keduanya harus berjalan beriringan. Artinya sambil menjaga warisannenek moyang dulu, kita juga tidak menutup mata akan hadirnya era teknologi dan informasiyang ada sekarang. Bahkan kita dapat memanfaatkan arus teknologi dan informasi untuk menunjang pengembangan kesenian yang ada di daerah-daerah. Jangan sampai kesenian daerahtenggelam karena modernisasi, hal tersebut yang justru terbalik dan salah. Ini kembali lagikepada generasi mudanya bagaimana kita dapat menjaga warisan nenek moyang dulu sehinggadari generasi ke generasi hal tersebut tetap ada dan dapat kita lihat sampai sekarang bahkanmasa-masa yang akan datang

Daftar Blog Saya

nama saya Supriyadi ,saya biasa di panggil teman-teman saya supri/ucup
saya sekolah di sma negeri 1 tanjung raja kelas XI-ipa1

Total Tayangan Halaman


Twitter Value

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
tanjung raja, sumatra selatan, Indonesia

Pengikut

supri's BLOG